Dihadist yang lain Rasulullah SAW juga bersabda agar kita jangan menyebut kafir kepada mereka yang shalatnya sama seperti beliau, dan makan makanan yang halal. Adapun mengenai Khataman Nabiyyin, kami pengikut Ahmadiyah juga meyakini bahwa Rasulullah saw adalah khataman nabiyyin berdasarkan surah Al Ahzab ayat 40.
KHATAMUN-NABIYYIN Oleh KH. S. Ali Yasir “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang lelaki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup para Nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” Berakhirnya Silsilah Jasmani Ayat Suci tersebut menerangkan dua hal yang saling berhubungan, yaitu telah berakhirnya silsilah Nabi Muhammad saw. secara jasmani, dan akan tetap berlangsung terus silsilah rohani beliau sepanjang masa, sebab beliau adalah Utusan Allah yang terakhir. Setiap Utusan adalah bapak rohani bagi misalnya Nabi Musa AS. adalah bapak umat Yahudi, Isa Almasih bapak umat Kristen, Siddharta Gotama bapak umat Budhis, Konghucu bapak umat Konfusianis dan Muhammad saw. adalah bapak umat Islam. Oleh karena itu isteri-isteri beliau disebut pula ibu orang-orang beriman 336 – yakni umat Islam- yang karena itu haram hukumnya dinikahi oleh umat Islam sepeninggal Nabi Suci untuk selama-lamanya 3353, sebagaimana diharamkannya seseorang mengawini ibunya sendiri 423, yakni janda bapaknya. Asbabun-nuzul ayat memperjelas makna firman Allah tersebut. Siti Khadijah memiliki seorang budak lelaki bernama Zaid. Setelah beliau dinikahi oleh Nabi Suci, Zaid dibebaskan, lalu diangkat sebagai anak angkat Nabi Suci. Zaid termasuk lima sahabat pertama. Setelah Hijrah ke Madinah, Nabi Suci mengusulkan agar Siti Zainab binti Jahsy saudara sepupu beliau dinikahkan dengan Zaid. Usul Nabi tersebut diterima, meski bertentangan dengan kehendak Zainab dan keluarganya. Ternyata pernikahan yang tak kafa’ah sederajad ini gagal. Zainab rupawan, bangsawan dan masih muda, sedang Zaid berkulit hitam, bekas budak dan jauh lebih tua. Akibatnya “fatal” bagi Zainab. Dia lebih menderita lagi karena disebut “janda, bekas istri seorang budak” suatu status yang hina di masyarakat Arab yang belum bebas dari budaya jahiliah. Cara mengangkat martabatnya tiada lain adalah Nabi Suci mengawini beliau, tetapi Nabi Suci takut akan dampak negatifnya, yakni fitnah, pelecehan dan penodaan nama baik beliau, sebab menurut tradisi jahiliyah kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung; mengawini janda anak angkat sama dengan mengawini janda anak kandung. Atas petunjuk Allah Nabi Suci menikahi Zainab 3337. Dengan demikian Siti Zainab terangkat derajatnya, karena perkawinan itu beliau menduduki tempat mulia, baik dimata Allah maupun mata manusia, yakni sebagai ibu orang beriman. Tetapi orang-orang kafir dan munafik -yang secara rohani adalah tuli, bisu dan buta 218- memaki dan menghina Nabi Suci saw. dengan tuduhan telah mengawini menantunya sendiri. Caci maki dan penghinaan yang berlangsung terus sampai sekarang ini ditangkis Ilahi dengan turunnya ayat suci 3340 di atas. Penegasan “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang 1elaki kamu” berarti Zaid bukanlah anak Nabi Suci Muhammad saw. tetapi anak Haritsah. Sejak saat itu, Zaid dipanggil anak Haritsah, sesuai dengan syariat Islam yang menganjurkan agar memanggil seseorang itu dengan menyebut ayah kandungnya 335, bukan ayah angkatnya; sebab kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak kandung 334. Silsilah Rohani Abadi Terputusnya silsilah jasmani Nabi Suci seakan-akan merupakan suatu cacat, maka orang-orang kafir mengejek beliau dengan sebutan abtar terputus, tetapi Qur’an Suci justru menyebut orang-orang kafirlah yang abtar 1083. Turunnya ayat 33 40 tersebut menjawab ejekan kaum kafir tersebut, karena menyatakan bahwa “Muhammad… … … dia itu Utusan Allah”. Seorang utusan Allah adalah bapak rohani bagi umatnya. Hubungan rohani nilainya lebih baik dan mulia daripada hubungan jasmani, maka dari itu “Nabi itu lebih dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri” 336. Sejarah menjadi saksi tatkala ayat ini diturunkan anak-anak rohani Rasulullah saw., telah berjumlah ratusan ribu jiwa sekarang tidak kurang dari 1,3 milyar – sedang kaum kafir telah terputus dan benar-benar terputus, karena anak-anak mereka telah menjadi anak-anak rohani Nabi Suci yang prosesinya dinyatakan dalam 1101-3. Kebapakan rohani Nabi Suci tak berakhir, berlangsung terus sampai hari Kiamat, sebab beliau sdalah Khatamun-Nabiyyin artinya segel penutup para Nabi, sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Jadi silsilah jasmani beliau terputus-karena tak beranak lelaki tetapi silsilah rohani abadi dikaruniakan kepada diri beliau. Sebab beliau segel penutup para nabi. Disinilah salah satu keagungan beliau dibanding dengan para Nabi sebelumnya yang silsilah rohaninya hanya berlangsung untuk sementara waktu saja 1338-39, misalnya Nuh hidup di tengah-tengah kaumnya selama alfa sanatin illa khamsina ama seribu tahun kurang lima puluh tahun alias 950 tahun 29l4. Ini umur kenabian atau syariatnya, bukan umur pribadi orangnya. Arti Khatamun-Nabiyyin Berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. dinyatakan dengan kata “khatam” yang bisa dibaca “khatim” seperti tertulis dalam Mushaf menurut riwayat Warsy dari Nafi’al- Madani. Antara keduanya ada perbedaan. Kata khatam berarti segel atau bagian terakhir atau penutup digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian dan pelestarian penganugerahan nikmat Ilahi 53; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah yang paling mulia diantara semua nabi. Jadi kata khatam mengandung arti ganda yakni “yang paling mulia” dan “bagian terakhir” atau “penutup”. Sedang kata khatim artinya bagian terakhir atau penutup; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi, yang dipertegas oleh Nabi Suci “la nabiyya ba’di” artinya “tak ada Nabi sesudahku” Hr. Bukhari. Menurut Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Kedua arti tersebut diterima sebagai kebenaran oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana dinyatakan dalam tulisan-tulisan beliau antara lain sbb “Adam, diciptakan dan Rasul-rasul diutus, setelah semuanya, Nabi Muhammad saw. diciptakan yang menjadi segel penutup para Nabi dan yang paling utama dari sekalian Nabi”Haqiqatul-Wahyi, 1907, Kemuliaan Nabi Suci atas semua Nabi telah berulangkali beliau tulis dalam berbagai buku dan selebaran, juga beliau sampaikan secara lisan dalam berbagai khotbah dan perdebatan. Demikian pula tentang berakhinya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. Pernyataan beliau antara lain sebagai berikut “Karena semua itu kenabian berakhir pada Nabi Suci saw. dan begitulah senantiasa, sesuatu yang ada awalnya pasti ada akhirnya” Al-Washiyyat, hlm. 10. Jika menjelaskan berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci saw. seringkali beliau tambahkan kalimat “sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun Nabi baru” misalnya dalam Ayyamush-Shulh 1989 sbb “Allah hersabda Ia adalah Utusan Allah dan Khataman Nabiyyin’. Dan itu dalam Hadits Tak ada Nabi sesudahku’…….Bila Nabi lainnya datang, apakah itu Nabi baru atau lama, bagaimana mungkin Nabi Suci kita sebagai Khataman-Nabiyyin?” dari Ruhani Khaza’in jilid 14, hlm 308-309. Pada halaman berikunya beliau tulis sbb”Dengan menyatakan Tidak ada Nabi sesudahku’ Nabi Suci menutup pintu secara mutlak kepada datangnya seorang Nabi baru atau datang kembalinya seorang Nabi lama” Ibid, hlm. 400. Penegak Akidah Dari anak kalimat “Sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru” tersebut mengandung petunjuk bahwa beliau adalah penegak akidah berakhirnya kenabian secara mutlak pada diri Nabi Suci Muhammad saw. secara syar’i. Tanpa anak kalimat tersebut doktrin Islam Khatamun-Nabiyyin yang menjadi landasan kesatuan umat manusia menjadi kelabu dan mengganggu kesatuan umat manusia, termasuk antar golongan umat Islam. Mengapa? Karena umat Islam terjebak pada dua pendapat ekstrim yang saling berlawanan dalam memahami teks profetik-eskatologik yang sama, yakni tentang datangnya Nabiyullah Isa dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Nawwas bin Sam’an. Pada umumnya para ulama Islam penentang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mahdi dan Masih Mau’ud -termasuk MUI- berpendapat bahwa, setelah Nabi Suci saw. akan datang seorang Nabi lama, yaitu Nabi Isa dari bani Israel yang dilahirkan oleh Siti Maryam sekitar dua ribu tahun yang lalu, yang sekarang mereka yakini masih hidup, di langit; kedatangan beliau untuk melaksanakan syariat Nabi Muhammad saw. Jadi kedatangannya sebagai Nabi tanpa syariat. Pendapat ini muncul karena teks “Nabiyullah Isa” mereka pahami secara hakiki, baik kata nabiyullah maupun nama Isa. Maka dari itu beliau bertanya Apakah mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah menetapkan Nabi Muhammad saw. sebagai Khatamul-Anbiya’ tanpa perkecualian” Hamamatul-Busyra, hlm. 20. Jawaban mereka biasanya “Nabi Isa pengangkatannya sebelum Nabi Suci saw. dan kedatangannya hanyalah untuk menegakkan syariat Nabi Suci”. Mereka memelintir pokok masalah, dari masalah ada atau datangnya, seorang Nabi dialihkan kepada masalah pengangkatan kenabian. Doktrin berakhirnya kenabian menjadi kelabu, meski mereka teriak-teriak qathi’i. Teriakan mereka tidak memperjelas pokok masalah, tetapi justru menambah kelabunya pokok masalah, karena mengundang keresahan dan kekisruhan, bahkan sering melahirkan perbuatan anarkis. Selain penentang Masih Mau’ud dari sebagian pengikut beliau pun ada pula yang berpendapat bahwa beliau seorang Nabi tanpa syariat, seperti halnya pendapat para penentang beliau. Hanya bedanya, yang datang setelah Nabi Suci adalah Nabi baru, bukan Nabi lama Isa Almasih, sebab beliau telah wafat. Pendapat ini muncul sebab teks profetik-eskatologik Nabiyullah mereka pahami secara hakiki, sedang nama Isa secara majasi. Jadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa majasi, beliau seorang nabi hakiki tetapi tanpa syari’at. Di sinilah sumber pertentangannya, padakata Isa, jika dipahami secara hakiki menunjuk Nabi lama dan jika dipahami secara majasi menunjuk Nabi baru. Diantara dua pendapat saling berlawanan itu mengandung petunjuk bahwa salah satu benar yang lain salah atau kedua-duanya terakhir itu yang benar, yakni keduanya salah. Benarnya bagaimana? Benarnya sbb kata Nabiyyullah dipahami secara majasi demikian pula nama Isa, juga dipahami secara majasi. Mengapa harus dipahami secara majasi? Sebab teks itu suatu profetik atau nubuat. Dengan cara demikian mereka yang menolak boleh saja disebut sesat tetapi tidak sampai kafir atau murtad, sebab keduanya masih mengimani profetik -eskatologik itu dan disamping itu kalimat syahadat yang diucapkan oleh kedua golongan itu menjadikan mereka sebagai anak-anak Muhammad sang Khatamun-Nabiyyin. Inilah ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang sejati, yang dipegang teguh oleh pengikut beliau kaum Muslim Ahmadi Lahore. Belum saatnyakah umat Islam bersatu? KH. S. Ali Yasir. Beri peringkat Filed under Islamologi Tagged Studi Islam
nabi2Lihat jawabanpenutup para nabi yaitu nabi muhammad sawpenutup para nabiNabi terakhir yang membawa syariat, arti utama dari katam ialah materai,nabi termulia, cinciniriyahiriyahPenutup para nabi ..Maksih membantu bangetLOLKomentar sudah dihapuslol semua pada hapus komentarnurindaahnurindaahNabi yang terakhir atau penutup para
Insan kamil kepada siapa Kitab Al-Quran diwahyukan tidak terbatas kemampuan kasyafnya, dan tidak juga mempunyai kekurangan dalam belas kasihnya. Baik dari sudut pandang saatnya mau pun tempat, jiwa beliau selalu penuh dengan belas kasih. Karena itulah beliau dikaruniai dengan manifestasi alamiah dan beliau dijadikan sebagai Khãtamul Anbiyã. Pengertian Khãtamul Anbiyã bukannya berarti bahwa tidak ada lagi yang menerima rahmat kerohanian dari beliau, melainkan penegasan bahwa beliau memiliki Meterai Kenabian dimana tanpa kesaksian dari meterai tersebut tidak akan ada rahmat yang bisa mencapai seseorang. Pengertian Khãtamul Anbiyã juga mensiratkan bahwa pintu untuk bercakap-cakap dengan Tuhan tidak akan pernah ditutup. Di samping beliau tidak ada lagi Nabi lain yang memiliki Meterai Kenabian demikian. Melalui kesaksian dari Meterai tersebut itulah maka Kenabian bisa dikaruniakan kepada manusia dengan syarat bahwa yang bersangkutan adalah pengikut taat dari Yang Mulia Rasulullah saw .” “Kadar keberanian dan rasa belas kasih beliau yang luhur tidak ingin meninggalkan umatnya dalam kondisi berkekurangan dan tidak bisa menerimakan bahwa pintu wahyu yang menjadi akar dari semua pemahaman telah tertutup. Namun untuk memastikan bahwa tanda Kenabian walau telah ditutup, beliau menginginkan bahwa rahmat wahyu tetap bisa diberikan melalui kepatuhan kepada beliau dan bahwa pintu ini tertutup sudah bagi yang bukan menjadi pengikut beliau. Allah swt menunjuk beliau sebagai Khãtamul Anbiyã dalam pengertian seperti ini. Dengan demikian telah ditetapkan bahwa sampai dengan Hari Penghisaban nanti barangsiapa yang terbukti tidak menjadi pengikut beliau yang setia dan tidak mengabdikan keseluruhan dirinya pada ketaatan kepada beliau maka ia tidak akan pernah bisa menjadi penerima wahyu yang sempurna. Kenabian yang bersifat langsung telah berakhir dalam wujud Yang Mulia Rasulullah saw namun Kenabian yang merupakan refleksi atau pantulan dari rahmat Yang Mulia Nabi Muhammad saw akan terus berlanjut sampai dengan Hari Penghisaban. Dengan demikian pintu untuk penyempurnaan umat manusia tidak akan pernah ditutup dan tanda ini tidak akan pupus dari muka bumi karena maksud luhur dari Yang Mulia Rasulullah saw menginginkan bahwa pintu untuk berhubungan dan bercakap-cakap dengan Tuhan harus tetap terbuka sampai dengan Hari Penghisaban, serta pemahaman Ilahiah yang menjadi dasar dari keselamatan rohani tidak akan pernah sirna.” Haqiqatul Wahyi, Qadian, Magazine Press, 1907; Rohani Khazain, vol. 22, hal. 29-30, London, 1984. *** “AKU BERSAKSI dengan penuh keyakinan bahwa keluhuran Kenabian telah mencapai puncaknya dalam diri Yang Mulia Rasulullah saw Seseorang yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan beliau dan mengemukakan kebenaran yang berada di luar Kenabian beliau serta mengingkari Kenabian tersebut adalah seorang yang palsu dan pendusta. Aku katakan secara tegas bahwa siapa pun yang beriman kepada seorang Nabi setelah Yang Mulia Rasulullah saw dan memecahkan Meterai Kenabian beliau adalah orang yang terkutuk. Tidak ada Nabi baru yang bisa muncul setelah Yang Mulia Rasulullah saw yang tidak mendapat pengesahan dari meterai Kenabian Muhammadi. Umat Muslim yang menentang kita keliru karena mereka meyakini akan kedatangan seorang Nabi Israili yang akan memecah meterai Kenabian. Aku memaklumkan bahwa menjadi manifestasi kekuatan kerohanian Yang Mulia Rasulullah saw dan Kenabian beliau yang bersifat abadi yaitu setelah 1300 tahun setelah beliau akan muncul Al-Masih yang Dijanjikan sebagai anak didik beliau dengan mengemban meterai Kenabian yang sama. Kalau pandangan ini dianggap kafir maka biarlah aku menjadi kafir. Mereka yang penalarannya telah digelapkan dan tidak memperoleh karunia nur Kenabian tidak akan pernah bisa memahami hal ini serta menganggapnya sebagai kafir, padahal justru ini merupakan hal yang membuktikan kesempurnaan Nabi Suci Muhammad saw dan kehidupan beliau yang kekal.” Al-Hakam, 10 Juni 1905, hal. 2. *** “Manusia tidak perlu lagi mengikuti Kenabian dan Kitab-kitab yang datang sebelum Yang Mulia Rasulullah saw karena Kenabian Muhammadi telah mencakup seluruh ajaran mereka dimana semua kebenaran sudah terkandung di dalam ajaran beliau. Tidak ada kebenaran baru yang akan muncul setelah agama Islam karena semua kebenaran telah tercakup di dalamnya. Karena itu semua Kenabian berakhir dengan Kenabian beliau sebagaimana seharusnya, karena setiap hal yang ada awalnya pasti ada akhirnya juga. Hanya saja Kenabian Muhammadi tidak akan berkekurangan dalam berkat. Kenabian ini jauh lebih berberkat dibanding semua Kenabian lainnya. Dengan mengikuti Kenabian Muhammadi maka seseorang akan mudah mencapai Tuhan dan dengan mengikutinya maka seseorang akan dikaruniai rahmat Ilahi berupa kasih Allah swt dan kesempatan berbicara dengan-Nya lebih dari pada ajaran sebelumnya. Penganutnya yang sempurna tidak akan disebut sebagai Nabi saja karena akan merupakan penghinaan bagi Kenabian Muhammadi yang sempurna. Ia hanya bisa disebut sebagai pengikut dari Yang Mulia Rasulullah saw dan sebagai seorang Nabi, keduanya pada saat yang bersamaan. Dengan cara demikian maka tidak ada penghinaan bagi Kenabian Muhammadi yang sempurna, bahkan rahmatnya malah menjadi bersinar lebih terang lagi. Al-Wasiyyat, Qadian, Magazine Press, 1905; Rohani Khazain, vol. 20, hal. 311, London, 1984. *** “Kami meyakini bahwa seseorang yang melenceng dari ajaran kaidah Yang Mulia Rasulullah saw walau pun sedikit adalah seorang yang ingkar. Jika seseorang yang berpaling dari ajaran Yang Mulia Rasulullah saw adalah seorang yang ingkar, bagaimana pula dengan seseorang yang mengaku membawa ajaran baru atau akan merubah Al-Quran dan Sunah Rasul atau memansukhkan salah satu kaidah? Menurut hemat kami yang disebut sebagai muminin adalah ia yang sepenuhnya mengikuti Al-Quran dan meyakininya sebagai Kitab yang terakhir diwahyukan, mematuhi ajaran Yang Mulia Rasulullah saw sebagai ajaran yang abadi dan tidak akan merubahnya walau sekecil apa pun, memfanakan diri dalam mengikutinya, tidak menentangnya baik dengan logika atau pun perilaku. Demikian itulah baru ia itu disebut Muslim sejati.” Al-Hakam, 6 Mei 1908, hal. 5. Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 259-262, ISBN 185372-765-2
Dimulaidari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat Kaum Muslim percaya bahwa Allah mewahyukan al-Qur'an kepada Muhammad sebagai Khataman Nabiyyin (Penutup Para Nabi) dan menganggap bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan perbuatan
Konsep yang Sebenarnya mengenai Khataman Nabiyyin Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil aziiz Jumat, 13 Oktober 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين. مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki dari antara kalian, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin; dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” Al-Ahzab 3341 Di Pakistan, para Politisi dan para Ulama dari masa ke masa beromong-kosong dalam hal yang mengada-ada dalam penentangan terhadap Ahmadiyah dengan memunculkan dasar pemikiran berlandaskan satu argumentasi atau yang lainnya. Sebab, mereka beranggapan itu cara yang amat murah untuk menarik orang-orang, meyakinkan publik tentang posisi mereka dan demi meraih suara. Senjata terbesar yang mereka gunakan demi menghasut orang-orang Muslim ialah senjata isu Khatamun Nubuwwah. Setiap kali sebuah Partai Politik keadaannya menurun atau seorang politisi menghadapi situasi sulit atau sebuah organisasi keagmaan berusaha mendapat suara di kursi politik atau demi membuat turun suara partai lain atau politisi lain yang lawan mereka maka mereka mengaitkan orang itu dengan Ahmadiyah dalam satu atau lain cara dengan mengatakan, “Perhatikanlah! Betapa jahatnya mereka karena membawa orang-orang Ahmadi kedalam sebuah Republik Muslim.” Sebab, mereka menyangka para Ahmadi mengingkari Khatamun Nubuwwah. Mereka yang menyangka dirinya membela Islam berkata, “Kami takkan membiarkan kehormatan rasulullah saw tercoreng. Takkan kami biarkan kejahatan ini. Betapa jahatnya menamai para Ahmadi itu sebagai orang Islam!” Tatkala mereka mengumumkan akan mengorbankan diri mereka dan jiwa mereka di jalan ini, partai lain tidak berusaha – sehingga walau dengan tangan kekuasaan – kecuali menjalankan para anggotanya di Parlemen agar membuat pernyataan, “Tidak mungkin para Ahmadi mendapatkan sesuatu haknya.” Bahkan, Pemerintah mengumumkan bahwa para Ahmadi hendaknya dicabut hak-haknya dari yang paling sederhana yang mereka nikmati itu dalam keadaan sebagai warga Negara Pakistan. Meski hak-hak ini seperti hak-hak warga Negara kelas tiga. Setiap Partai bekerja demi mencapai rencana politiknya dan tujuan perseorangannya dan itu tidak ada hubungannya dengan Ahmadiyah. Mereka menggiring para Ahmadi dalam kasus ini karena mengangkat isu Ahmadiyah adalah isu yang paling mudah. Para anggota Partai Pemerintah dan Partai penentang Pemerintah oposisi muncul dan berbicara yang memusuhi Ahmadiyah dengan bebasnya. Inilah apa yang kita saksikan terjadi di Parlemen Nasional Pakistan ketika sebuah partai politik, atau lebih tepatnya Partai pemerintah, mencoba membuat perubahan kata-kata dalam konstitusi untuk mencapai kepentingannya. Telah terjadi kegemparan di media akhir-akhir ini di Pakistan. Masalah ini sekarang telah diungkap ke seluruh dunia. Saya tidak ingin menjelaskan dengan rinci di kesempatan ini. Sejauh menyangkut Jemaat Ahmadiyah, kita tidak pernah meminta kepada kekuatan asing untuk campur tangan di Pakistan demi membuat perubahan dalam Undang-Undang Pakistan dan memberi kita status sebagai “Muslim” di hadapan hukum dan konstitusi tersebut. Kita juga tidak pernah mengiba kepada pemerintahan Pakistan mana pun untuk hal tersebut. Kita tidak memerlukan sertifikasi dari Lembaga Legislatif atau pemerintah mana pun di dunia demi dianggap sebagai Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena kita memang Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena memang kita adalah Muslim. Allah Ta’ala dan juga Rasulullah saw yang telah menamai kita sebagai umat Muslim. Kita mengucapkan Kalimah Syahadat, tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad ialah Rasul Allah, kita mempercayai semua rukun Iman dan rukun Islam, mengimani al-Quran dan mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Quran, dan telah saya tilawatkan ayat al-Qur’an tersebut beberapa saat lalu. Kita secara tegas dalam corak bashirah membuktikan bahwa Sayyiduna Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam ialah Khatamun Nabiyyiin. Bahkan Hadhrat Masih Mau’ud as dengan jelas dan gamblang menulis di banyak tempat, “Seseorang yang menyangkal Khataman Nabiyyin, saya menganggapnya sebagai orang yang tak beragama dan di luar dari daerah Islam. Ia bukanlah seorang Ahmadi, bukan juga orang Islam.” Oleh karena itu, ini adalah bentuk kerusuhan kekacauan yang mereka ciptakan untuk menentang kita, dan ini merupakan fitnah yang mereka tuduhkan terhadap kita, bahwa kita mengingkari Khataman Nabiyyin, dan kita Naudzubillah tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Ini merupakan fitnah yang sangat keji. Tuduhan ini ditujukan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan Jemaat Ahmadiyah sejak pendakwaan beliau as. Setiap kali para penentang ingin mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri, mereka pun membuat kehebohan dan kembali melontarkan tuduhan ini di suatu waktu dan waktu yang lain. Dalam salah satu pidatonya, Hadhrat Khalifatul Masih II ra bersabda, “Ini adalah fitnah yang dituduhkan terhadap kita, dan kita harus memberitahukan mereka akan ketidakbenaran tersebut dengan mengatakan bahwa kita tidak menolak konsep Khataman Nubuwwat, karena kita membaca, mempercayai dan mengimani al-Quran. Dan al-Qur’an menyatakan bahwa Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Bahkan ulama bukan Ahmadi mengajukan kritik – inilah yang mereka ajarkan kepada orang-orang awam. Untuk itu mereka ulang keberatan ini. Bahkan, disebabkan sarana komunikasi dan media para Ulama dari Negara lain dipengaruhi oleh orang-orang yang disebut ulama dan cendikia dari Pakistan ini – mengatakan, naudzubillah, Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran dan menganggap wahyu-wahyu yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad lebih tinggi dan mulia daripada al-Quran.” Banyak orang Arab yang setelah menemukan kebenaran, baiat bergabung kedalam Jemaat Ahmadiyah, mereka pun bercerita, “Saat kami bertanya kepada para ulama kami perihal Ahmadiyah, mereka mengatakan Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran, Ahmadiyah memiliki Al-Qur’an yang lain atau Kitab selain al-Quran, tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai nabi terakhir malah mempercayai Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir, tempat berhajinya berbeda bahkan Ahmadiyah tidak naik Haji, Qiblat-nya berbeda dan shalatnya tidak menghadap Ka’bah. Ketika kami meneliti akan hal tersebut, kebohongan mereka pun terbongkar. Tapi disebabkan kebohongan mereka tersebut tentang Ahmadiyah dan tuduhan batil mereka, malahan itu menjadi sarana banyak orang menerima Ahmadiyah.” Para ulama itu secara tidak langsung – dari satu segi – telah melakukan tabligh kepada kami dengan kedustaan mereka itu. Bagaimana mungkin kita tidak mengimani Al-Qur’an dan tidak mempercayai Rasulullah saw adalah Khataman-Nabiyyin padahal di suatu ketika wahyu yang diterima Hadhrat Masih Mau’ud as menyampaikan bahwa al-Quran ialah Kitab Allah dan memandangnya sebagai mata air dari segala kebajikan serta di dalam Kitab itu disebutkan bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Salah satu wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as al-khairu kulluhu fil qur’aan “Setiap kebajikan terdapat dalam al-Quran Karim.” Sejurus dengan itu, beliau as bersabda, “Orang-orang yang memuliakan al-Quran, akan dimuliakan di langit.” Tidak pernah satu kali pun di mana pun beliau as pernah menyampaikan untuk memuliakan ilham-ilham beliau. Bahkan, ilham-ilham beliau as tersebut tunduk terhadap al-Quran. Wahyu-wahyu tersebut tidak memiliki kedudukan secara independent atau berdiri sendiri. Tiap-tiap kebaikan yang kita cari dan tiap-tiap petunjuk yang kita inginkan dalam soal agama atau sosial, kita dapatkan dari Al-Qur’an. Banyak wahyu beliau as yang menjelaskan hal itu dan menyebutkan tema ini. Demikian juga ada kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as yang tak terhitung jumlahnya tentang Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Sebagaimana dalam salah satu ilham yang beliau terima menyebut kata khatamun nabiyyiin, “صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ سَيدِ ولدِ آدَمَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ” Shalli alaa Muhammadin wa aali Muhammadin sayyidi waladi Aadama wa khaatamin nabiyyiin’ – “Bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, Majikan segenap anak keturunan Adam dan Khatam para nabi.” Ilham ini berulang dua atau tiga kali di berbagai tempat yang berbeda. Ada juga ilham lain, كل بركة من محمد صلى الله عليه وسلم ’Kullu barakatin mim Muhammadin shallaLlahu alaihi wa sallam’ – “Setiap keberkatan berasal dari Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam”. Selanjutnya beliau as menulis dalam kitab beliau, Tajalliyat Ilahiyyah Manifestasi Ilahi, “Jikalau saya bukan umat beliau saw dan mengikutinya, meski amal kebajikanku sebesar gunung-gunung di dunia, pastilah saya tidak akan pernah menerima kehormatan mukaalamah dan mukhathabah bercakap-cakap dengan Tuhan. Hal demikian karena segala bentuk kenabian yang lainnya telah berakhir kecuali kenabian Muhammad saw.” Oleh karena itu, Hadhrat Masih Mau’ud as pun tunduk mengikuti Rasulullah saw dan ilham-ilham beliau pun tunduk mengikuti al-Quran dan merupakan penjelasan dari al-Quran. Apabila kita, naudzubillah, menganggap wahyu-wahyu beliau as lebih tinggi dari al-Quran, lalu mengapa hari ini kita harus berkorban harta dan tenaga demi menerbitkan al-Quran dan terjemahannya di dunia seluruhnya, bukannya menerbitkan wahtu-wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as. Sampai detik ini al-Quran sudah diterjemahkan dan diterbitkan kedalam 75 tujuh puluh lima bahasa, sedangkan terjemahan kedalam beberapa bahasa lainnya terus dikerjakan dan Insya Allah, akan segera diterbitkan. Kita juga menerbitkan buku terjemahan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an dalam 111 bahasa. Negara-negara Islam dan organisasi-organisasi Islam yang kaya raya perlu membuat statement bahwa sudah berapa banyak kah al-Quran yang mereka terjemahkan dan terbitkan kedalam berbagai bahasa yang berbeda? Kita-lah para Ahmadi yang memahami makna dan ruh sebenarnya dari Khataman Nabiyyin, dan kita-lah para Ahmadi yang mempublikasikan pengumuman dari Allah Ta’ala bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin melalui terjemahan Al-Qur’an ke berbagai bahasa di seluruh dunia. Kendati demikian orang-orang tersebut yaitu para penentang Jemaat, naudzubillah, tetap menuduh Ahmadiyah menolak dan tidak mengakui Khataman Nubuwwat. Hadhrat Masih Mau’ud as mengajarkan kepada kita arti dan makna Khataman Nubuwwat, dimana orang-orang yang mengklaim diri mereka penjaga Khataman Nubuwwat tersebut bahkan tidak mampu memahaminya. Menanggapi kesalahan pemahaman orang-orang yang menuduh kita tidak menganggap Nabi Muhammad saw adalah خاتم النبيين Penghulu para Nabi, beliau as bersabda, “Anda harus ingat, kritik terhadap Jemaat saya dan saya sendiri bahwa kami tidak menganggap Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin adalah tuduhan yang sungguh tidak benar. Kami percaya dan meyakini Nabi Muhammad saw sebagai Khatamul Anbiya dengan keyakinan, kekuatan, ma’rifat dan bashirah keakuratan yang sedemikian kuat yang bahkan orang-orang selain kami tidak mencapai 1/ bagian darinya. Mereka bahkan tidak memiliki keberanian yang demikian untuk memahami realitas dan rahasia yang terkandung dalam makna finalitas Kenabian sang Khatamun Nabiyyiin Nabi Muhammad saw. Mereka hanya mendengar istilah dari nenek moyang mereka tetapi tidak menyadari kenyataannya. Mereka tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Khatamun Nubuwwah dan apa pengertian beriman kepada beliau saw. Namun, kami mengimani bahwa Nabi Muhammad saw adalah Khatamun Nabiyyiin dengan ketepatan pandangan hal mana diajarkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah telah mengungkapkan pada kami mengenai realitas sesungguhnya Khatamun Nabiyyiin sehingga mata air pemahaman yang menyeluruh diminumkan untuk konsumsi kita, sehingga kita mendapatkan perasaan suka cita yang unik. Tidak ada yang bisa punya pemikiran tentang hal itu kecuali bagi mereka yang diairi oleh mata air ini.” Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Allah Ta’ala telah menganugerahi kita dengan Nabi yang merupakan خاتم المؤمنين Khatamul Mu-miniin, yang terbaik dari orang-orang beriman, خاتم العارفين Khatamul Aarifiin, yang terbaik dari semua orang arif berpengetahuan dan خاتم النبيين Khatamun Nabiyyiin, yang terbaik dari para Nabi. Demikian pula, kitab yang diturunkan kepada beliau merupakan cakupan komprehensif dan yang terbaik dari semua kitab jami’ul kutub dan khatamul kutub. Jadi, kenabian termateraikan pada Nabi Muhammad saw yang merupakan خاتم النبيين Penghulu para Nabi. Tapi, itu tidak berakhir seperti halnya seseorang dihabisi dengan mencekik tenggorokannya. Akhir yang demikian tidaklah layak dibanggakan. Makna Khatamun Nubuwwah pada Nabi Muhammad saw artinya bahwa sifat-sifat kesempurnaan kenabian secara alami berakhir pada beliau. Berbagai mukjizat yang secara individual diberikan pada para Nabi dari Adam as sampai Isa Yesus putra Maryam as semua terkumpul dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw secara alami menjadi layak atas gelar Khataman Nabiyyin. Begitu juga, bahwa kumpulan ajaran, bimbingan dan pengetahuan yang ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya berakhir dengan diwahyukannya Al-Quran. Ini adalah bagaimana Al-Quran kemudian menjadi خاتم الكتب khatamul kutub yang terbaik dari semua Kitab.” Inilah hakikat yang tidak diketahui para penentang kita dan para Ulama yang tidak menghendaki kesalahpahaman perihal makna Khatamun Nabiyyin dihapus. Sebabnya, jika umat mereka tahu hal yang sebenarnya, tentu perdagangan agama’ yang mereka lakukan akan berakhir. Beliau as menjelaskan di tempat lain, “Saya ingin berkata sekali lagi mengenai Khatamun Nabiyyin bahwa makna terbesar makna dasar Khataman Nabiyyin adalah kualitas-kualitas kenabian yang dimulai dengan Adam memperoleh kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Inilah makna lahiriah yang jelas. Makna lainnya adalah wilayah ruang lingkup kesempurnaan kenabian telah berakhir pada Rasulullah saw. Saya katakan dengan sebenarnya bahwa al-Quran menyempurnakan semua ajaran sebelumnya yang belum sempurna, dengan demikian kenabian pun mencapai kesempurnaanya. Ajaran-ajaran yang diberikan oleh para Nabi sebelumnya belum mencapai tingkat tertinggi maka Al-Qur’an-lah yang menyempurnakannya dan Syari’at Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dengan itu kenabian pun telah sempurna. Maka dari itu, kesempurnaan yang dicapai manusia dengan keberkatan Al-Qur’an takkan tercapai usaha untuk mencapainya tanpa Al-Qur’an yang telah turun kepada Nabi Muhammad saw. Jadi, Islam ialah pembenaran dari firman Allah, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” Surah Al-Maaidah, 54 “Singkatnya, hal ini Khatamun Nabiyyin merupakan salah satu tanda Kenabian Rasulullah saw. Tidak perlu membahas perdebatan tentang bagaimana dan seharusnya hal itu. Prinsip-prinsipnya jelas, dan itu semua disebut fakta-fakta yang tetap. Tidak perlu orang beriman memperdebatkan di dalamnya, tapi dia harus percaya terhadap hal itu. Jika penentang mengajukan keberatan, kita bisa memberi mereka pemahaman. Jika tidak berhenti juga mereka, kita bisa mengatakan kepadanya untuk membuktikan kepada kita hal-hal cabang furu’ yang ada padanya. Singkatnya, meterai nubuatan adalah termasuk tanda satu tanda Kenabian Rasulullah saw, dan setiap Muslim harus percaya akan hal itu. keadaan beliau sebagai Khatamun Nabiyyiin merupakan keistimewaan dari keunggulan-keunggulan khusus yang ada pada bleiau saw. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, jika seseorang tidak percaya dengan Khataman Nabiyyin, maka Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan bahwa orang tersebut bukanlah seorang Muslim, dan keluar dari daerah Islam. Beliau as bersabda menjelaskan lebih lanjut kedudukan Khatamun Nubuwwah dan membuktikan kelebihan Islam dibanding seluruh agama “Pemahaman mengenai Khatamun Nubuwwah dapat sebagai berikut batas dan puncak yang mana dalil-dalil dan Ma’rifat ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian meraih akhirnya finalitasnya maka nama yang diberikan ialah Khataman Nabiyyin. Maka di luar itu, orang-orang yang mengkritik hal itu tidak lain adalah seorang yang tak ber-Tuhan yang beramal tanpa iman kepadanya. Dalam semua hal, penjelasan-penjelasan mendasarkan pemahamannya dan pengertiannya pada pengetahuan penuh dan cahaya penglihatan. Jika seseorang benar-benar sadar akan ilmu agama dan menerima cahaya dari Tuhan, maka ia dapat mengakomodasi hal-hal ini Pengutusan Nabi saw ialah demi penyempurnaan iman dan irfan, dan memberi berbagai bangsa lain cahaya terang dan mereka belum pernah dianugerahi hukum yang jelas dan mencerahkan. Jika mereka telah diberikan hal itu, apakah mereka dapat meninggalkan jejak apapun di Jazirah Arab? Seluruh bangsa belum pernah diberikan Syari’at sempurna dan Nabi-Nabi sebelumnya diutus untuk bangsa setempat saja. Beliau as menjelaskan jika itu sebagai bentuk dalil bahwa orang-orang Arab belum pernah mengetahui apa-apa soal Allah dan agama, mereka yang tahu sedikit dan mempunyai kontak dengan bangsa-bangsa lain juga tidak menerima Nabi karena mereka tidak memiliki cahaya penuh, jika agama-agama sebelumnya memiliki cahaya penuh, tentu itu mempengaruhi orang-orang Arab Matahari telah datang dari semenanjung Arab memberi nyala terang bagi semua orang dan melontarkan cahaya-cahayanya ke setiap penjuru desa. Ini adalah status Nabi saw sebagai siraaj muniir cahaya terang yang menerangi semua bangsa dan cahayanya mencapai ke segala tempat dan di setiap sudut dan di setiap kota Merupakan satu-satunya kebanggaan Alquran saja sehingga dia mampu mengatasi seluruh agama dunia mengenai isu monoteisme Tauhid dan kenabian. Masalah Tauhid dan kenabian yang dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran adalah bukti yang belum pernah diberikan pada agama sebelumnya, ini adalah makna penyelesaian syariah dan penunjukan Nabi sebagai Khatamun Nabiyyin. Merupakan dapat menjadi sebab kebanggaan umat Muslim bahwa mereka dianugerhi Kitab ini. Penyebab mereka yang keberatan dan menyerang ajaran-ajaran Islam dan petunjuk-petunjuknya adalah karena kegelapan batin dan ketiadaan keimanan mereka.” Islam ialah satu-satunya agama yang muncul dari Jazirah Arab dan bersinar terang ke seluruh penjuru wilayah di dunia serta masih saja ajaran hakikinya tersebar di dunia. Jemaat Ahmadiyah berusaha segenap kekuatan dan sarana guna menyebarluaskan kedudukan Tauhid dan Nubuwwah Kenabian di tiap Negara, desa dan di tiap lembah pemukiman di dunia. Kita ialah yang memiliki pemahaman benar mengenai Khatamun Nubuwwah dan Syariat yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Maka, hanya Hadhrat Masih Mau’ud as saja yang menjelaskan kepada agama-agama lain perihal kedudukan Nabi Muhammad saw. Bukan hanya itu saja, bahkan beliau bersabda, “Seluruh ajaran Nabi-Nabi sebelumnya telah diubah-ubah sampai derajat kedudukan mereka dan kebenaran mereka tidak menjadi jelas dari itu dan apakah mereka itu orang benar atau tidak. Merupakan jasa prestasi Nabi Muhammad saw yang menjelaskan hakikat para Nabi masa lalu dan kebenaran mereka. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Ajaran sempurna yang mendidik dan menanggung kualitas-kualitas kemanusiaan nan sempurna bukanlah ajaran yang menitikberatkan pada satu segi saja. Perhatikanlah apa yang dikatakan Injil, apakah yang dikatakan kemampuan-kemampuan kemanusiaan mengenainya? Kekuatan manusia dan fitrat kemanusiaan ialah Kitab Allah secara fi’li. maksudnya, kekuatan insan dan fitratnya merupakan penampakan secara amal perbuatan dari Kitab Allah Bagaimana mungkin Kitab Allah secara qauli, apa yang disebut Kitab Ilahi atau pengajaran Ilahi, bertentangan dengan kitab Allah secara fi’li? Yaitu, bimbingan dan pengajaran yang diturunkan Allah dalam Alquran, yang adalah Kitab-Nya secara qauli, tidak mungkin dapat bertentangan dengan pengajaran fithri bawaan dari kemampuan apapun yang telah diberikan Allah kepada manusia, bahkan jika bukan karena adanya Rasulullah saw, akhlak para Nabi sebelumnya dan ajaran-ajaran mereka, dan juga mukjizat-mukjizat mereka serta kekuatan kesucian mereka menjadi tempat kritikan saja. Namun, Nabi saw datang dan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang suci tak terlupakan dan membuktikan kebenaran mereka. Oleh karena itu, tanda-tanda kenabian beliau lebih mulia daripada matahari, dan ini tidak terhitung banyaknya. Keberatan terhadap kenabian Nabi saw atau tanda-tanda kenabiannya yang seperti hari yang cerah, ialah seperti orang buta yang bodoh yang mengatakan bahwa hari masih malam. Saya mengulangi bahwa jika Rasul kita Nabi Muhammad saw tidak diutus, niscaya agama-agama lain tetap berada dalam kegelapan, iman akan hancur dan bumi pun hancur dengan kutukan dan siksaan dari Tuhan. Islam seperti lilin yang bersinar yang juga membawa orang lain keluar dari kegelapan.” Jika kalian membaca Injil takkan kalian temukan kejelasan tentang ajaran Tauhid. Tidak diragukan bahwa tiap-tiap Kedua kitab itu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga datang dari Tuhan, sebagaimana keduanya benar-benar demikian, tetapi cahaya terang apakah yang dapat seseorang temukan di dalam kedua kitab itu? Cahaya hakiki guna mencapai keselamatan ialah Tauhid dalam Islam saja. Ambillah masalah Tauhid saja sebagai contoh, dimana saja Al-Qur’an menyingkapnya maka akan kita temukan bak pedang tajam yang merobek-robek Syirk. Demikian pula masalah Nubuwwah kenabian, semua segi jelas dan terang dapat kalian temukan dalam Al-Qur’an dengan tidak ada tambahan lagi.” Jadi, inilah ma’rifat pengetahuan mendalam mengenai Khatamun Nubuwwah yang telah disediakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Para Ulama masa kini menuduh-nuduh orang lain tapi tidak bisa mengungkapkan kepada agama-agama lain apa-apa kelemahan mereka atau membuktikan keunggulan Rasulullah saw. Melainkan, Jemaat Ahmadiyah yang berdiri demi memenuhi kewajiban ini sebagai hasil tarbiyat Hadhrat Masih Mau’ud as dan ajarannya. Meski demikian, kita dipandang sebagai orang-orang kafir di mata penentang kita, sementara mereka ialah orang beriman. Berkenaan dengan pendakwaan beliau, Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan “Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga menjadi orang sial yang menyatakan diri Rasul dan Nabi secara mengada-ada? Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga meragukan ayat, وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin’ sebagai firman Allah dengan berkata bahwa ia juga Rasul dan Nabi setelah Nabi Muhammad saw? Mereka yang berpikir adil obyektif harus ingat bahwa hamba yang lemah ini tidak pernah mendakwakan diri sebagai nabi atau rasul dengan makna hakiki. Penggunaan sesuatu kata secara majaaz dan dengan makna non hakiki sesuai makna-makna yang biasanya ditemukan dalam kamus, tidak membuat sebuah kekafiran. artinya, tidak menjadikan pengucapnya sebagai kafir Oleh karena itu saya tidak suka melakukan hal tersebut, sebab mungkin saja orang-orang yang awam bisa tertipu. Meskipun demikian, atas dasar kedudukan saya sebagai Ma-mur minaLlah mendapat perintah dari Allah, saya tidak bisa menyembunyikan Mukalamah dan Mukhatabah pembicaraan dan bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala yang Dia anugerahkan kepada saya. Dalam percakapan tersebut kata-kata Nabi dan Rasul banyak digunakan. karena Allah Ta’ala menggunakan kata-kata tersebut untuk memanggil beliau maka dari itu saya tidak bisa menyembunyikannya lagi. Saya sering mengatakan ini berkali-kali bahwa dengan segala hormat kata-kata Mursal dan Rasul yang digunakan dalam wahyu-wahyu tersebut tidak mengimplikasikan pada penggunaan makna hakiki. Hakikat yang saya nyatakan kepada umum ialah Nabi kita Muhammad Rasulullah saw adalah Khatam para nabi, dan setelah beliau saw tidak akan muncul Nabi baik yang lama maupun yang baru. Siapa yang mengatakan setelah Rasul kita dan Majikan kita saw ada Nabi atau Rasul dalam wajah hakikat, dengan mengada-ada, dengan meninggalkan Al-Qur’an dan hukum-hukum Syariat maka ia kafir dan pembohong.” Ringkasnya, kami beriman bahwa seseorang yang benar-benar menyatakan kenabian dengan memisahkan diri dari aliran berkah-berkah Nabi Muhammad saw dan jauh dari sumber suci dan sejuk tersebut guna menjadikan dirinya Nabi Allah maka berarti orang itu Mulhid Ateis. Kemungkinan besar orang pendakwa semacam itu akan membuat-buat Syahadat baru, menciptakan cara-cara ibadah baru dan mengubah hukum-hukum. Tidak diragukan lagi bahwa ia menjadi saudara dari Musailamah nan pembohong, tidak ada duanya dalam kekafirannya dan bagaimana mungkin benar perkataannya bahwa ia beriman pada Al-Qur’an?” Orang yang tidak keluar dari ketaatan kepada Nabi Muhammad saw bahkan mengikuti Syariat beliau saw maka menjadi mungkin mendapat kemuliaan dari Allah dengan kehormatan ini dan tidak mungkin selainnya mendapat kehormatan ini. Begitu pula seseorang yang keluar dari ketaatan terhadap beliau saw tidak dapat dianggap sebagai Muslim. Selanjutnya, beliau as menjelaskan hal ini lebih lanjut, “Kami orang Muslim…kami beriman kepada Kitab Allah, al-Furqaan nama lain Al-Qur’an. Di kalangan umat ini terdapat banyak Wali yang mana Allah Ta’ala bercakap-cakap memberi wahyu dan ilham kepada mereka. Mereka dianugerahi celupan warna kenabian meski pada kenyataannya mereka bukan Nabi. Sesungguhnya Al-Qur’an ialah Syariat sempurna. Mereka tidak dianugerahi kecuali dengan pemahaman Al-Qur’an. Mereka tidak menambah dan mengurangi darinya. Siapa yang menambah atau mengurangi dari Al-Qur’an maka ia termasuk setan yang celaka.” Kemudian beliau as menyebutkan mengenai keberkatan kedudukan khatamun nubuwwah Nabi Muhammad saw “نؤمن بأن سيدنا محمدًا نبيُّه ورسوله، وأنه جاء بخير الأديان. ونؤمن بأنه خاتم الأنبياء لا نبي بعده، إلا الذي رُبِّيَ مِن فيضه وأظهرَه وعدُه…. nu-minu bi anna sayyidana Muhammadan nabiyyuhu wa rasuuluh, wa annahu jaa-a bi khairil adyaan. Wa nu-minu bi annahu khaatamul anbiyaa-i laa Nabiyya ba’dah, illalladzii rubbiya min faidhihi wa azhharahu wa’duhu’ – “Kami beriman bahwa junjungan kami, Muhammad, adalah Nabi-Nya dan Rasul-Nya, dan beliau datang dengan sebaik-baik agama. Dan kami beriman bahwa beliau adalah khaatamul anbiyaa-i penghulu para Nabi, tiada Nabi setelah beliau, terkecuali yang dididik dari karunia jasa beliau dan ia muncul sesuai dengan janji beliau saw…” Sebagaimana juga Hadhrat Masih Mau’ud as dididik dengan ajaran beliau saw dan muncul sesuai nubuatan dari beliau saw ونعني بختم النبوة ختم كمالاتها على نبينا الذي هو أفضل رسل الله وأنبيائه، ونعتقد بأنه لا نبي بعده إلا الذي هو من أمّته ومن أكمَلِ أتباعه، الذي وجد الفيضَ كله من روحانيته وأضاء بضيائه… “Dan kami memahami mengenai khatmun nubuwwah ialah bahwa kesempurnaan-kesempurnaan keNabian telah khatam tersahkan pada Nabi kita, yang adalah termulia dari antara para rasul dan Nabi Allah, dan kita berkeyakinan bahwa tidak ada Nabi setelah beliau saw, kecuali yang mana ia itu dari umat beliau dan termasuk sempurna dalam mengikuti beliau saw, yang mana ia Nabi itu mendapatkan faidh karunia semuanya dari kerohanian beliau saw dan tersinari dari sinar terang beliau saw…” وهذا هو الحق الذي يشهد على بركات نبينا، ويري الناسَ حُسْنَه في حُلل التابعين الفانين فيه بكمال المحبة والصفاء، ومن الجهل أن يقوم أحد للمِراء، بل هذا هو ثبوت من الله لنَفْيِ كونِه أبتَرَ، ولا حاجة إلى تفصيل لمن تدبَّرَ. “Dan, inilah yang benar yang mana ia Nabi yang datang dari umat beliau saw itu bersaksi atas keberkatan-keberkatan Nabi kita, dan ia memperlihatkan kepada umat manusia keindahan beliau saw dalam jubah sebagai pengikut nan fana atas beliau saw dengan kecintaan yang sempurna lagi suci bersih, dan adalah termasuk kebodohan bagi seseorang yang berdiri untuk mencela hal ini; bahkan lebih dari itu, keyakinan kami ini menjadi dalil-dalil untuk menyangkal pendapat bahwa beliau saw adalah abtar tak berketurunan rohani; dan tak perlu penjelasan rinci bagi mereka yang mau merenungi dan menelaah lebih dalam.” وإنه ما كان أبا أحد من الرجال من حيث الجسمانية، ولكنه أب من حيث فيض الرسالة لمن كمّل في الروحانية. وإنه خاتم النبيين وعَلَمُ المقبولين. ولا يدخُل الحضرةَ أبدا إلا الذي معه نقشُ خاتمه، وآثار سنته، ولن يُقبَل عمل ولا عبادة إلا بعد الإقرار برسالته، والثباتِ على دينه وملته. “Dan sesungguhnya beliau saw itu bukanlah bapak seorang laki-laki pun dalam corak jasmaniah, tetapi beliau saw adalah sebagai bapak dalam corak karunia risalah kerasulan bagi mereka yang menyempurnakan diri dalam kerohanian. Dan sesungguhnya beliau saw adalah khatamun Nabiyyiin penghulu para Nabi dan alamul maqbuuliin Tanda kategori orang-orang yang diterima Ilahi. Tiada satu pun yang dapat masuk menghadap al-Hadhrat Yang Mulia lagi Maha Tinggi, Tuhan selama-lamanya kecuali dia yang padanya terdapat cap stempel pengesahan beliau saw, jejak-jejak sunnah kebiasaan beliau saw, dan tidak akan diterima sesuatu amal perbuatan dan juga ibadah kecuali setelah mengakui dan menerima risalah kerasulan, pengutusan beliau saw, dan tetap teguh atas agama dan ajaran beliau saw.” وقد هلك من تركه وما تبِعه في جميع سننه، على قدر وُسْعِه وطاقته. ولا شريعةَ بعده، ولا ناسخَ لكتابه ووصيته، ولا مبدِّلَ لكلمته، ولا قَطْرَ كمُزْنتِه. ومن خرج مثقالَ ذرّة من القرآن، فقد خرج من الإيمان. ولن يفلح أحد حتى يتّبع كلَّ ما ثبت من نبينا المصطفى، ومن ترَك مقدار ذرة من وصاياه فقد هوى. “Dan hancurlah orang yang meninggalkan beliau saw dan tidak mengikuti beliau dalam segala sunan kebiasaan, perilaku beliau saw, sesuai kemampuan kelapangan dan kekuatannya. Dan, tidak ada syariat lagi setelah beliau saw; dan tidak ada yang dapat menghapus kitab beliau saw dan wasiat beliau saw; dan tidak ada yang mengubah kalimat beliau saw; dan tidak ada cucuran air hujan [karunia] yang sebanding dengan beliau saw; dan siapa yang keluar sejarak satu dzarrah saja dari al-Qur’an, maka ia telah keluar dari wilayah keimanan. Dan tidak akan berjaya seseorang hingga ia mengikuti setiap yang terbukti jelas dari Nabi kita al-Mushthafa, dan siapa yang meninggalkan satu dzarrah saja wasiat beliau saw maka ia telah melampaui batas.” ومن ادّعى النبوة من هذه الأمة، وما اعتقد بأنه رُبّيَ من سيدنا محمدٍ خيرِ البريّة، وبأنه ليس هو شيئا من دون هذه الأسوة، وأن القرآن خاتم الشريعة، فقد هلك وألحَقَ نفسه بالكفَرة الفجَرة. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dari umat ini Islam, dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya itu dididik dari Nabi kita, Muhammad, sebaik-baik makhluk, dan dia anggap beliau saw tidak penting sebagai teladan, dan dia anggap tidak penting al-Qur’an sebagai khatamusy syari’ah, maka ia benar-benar telah rusak dan telah mengotori dirinya sendiri dengan kekafiran dan dosa.” ومن ادعى النبوة ولم يعتقد بأنه من أمته، وبأنه إنما وجَد كلَّ ما وجَد من فيضانه، وأنه ثمرة من بستانه، وقطرة من تَهْتَانِه، وشَعْشَعٌ من لمعانه، فهو ملعون ولعنة الله عليه وعلى أنصاره وأتباعه وأعوانه. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya dari umat beliau saw, ia tidak berkeyakinan ia telah memperoleh apa-apa yang ia dapatkan berasal dari keluhuran beliau saw; dan ia tidak berkeyakinan itu adalah buah dari kebun beliau saw; itu adalah butiran-butiran yang jatuh dari hujan lebat beliau saw, dan ia tidak berkeyakinan itu adalah seberkas tebaran sinar dari kilauan cahaya beliau saw, maka ia adalah mal’uun terkutuk, dan kutukan Allah atasnya, atas para penolongnya, atas para pengikutnya dan semua agen penyokongnya.” Jelas bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as dalam sabda ini tidak tengah mengutuk diri beliau sendiri dan Jemaat beliau. Melainkan, maksudnya beliau paham benar bahwa aliran-aliran berkah ruhaniah lebih banyak beliau peroleh dibanding orang-orang lainnya dengan melalui mengikuti Nabi Muhammad saw dan beliau mencapai martabat yang mana Allah memberi beliau kemuliaan dan kehormatan serta menjadikan beliau as sebagai Nabi yang mengikuti Nabi Muhammad saw dan tanpa syariat baru. Beliau as melanjutkan, لا نبيَّ لنا تحت السماء من دون نبيّنا المجتبى، ولا كتابَ لنا من دون القرآن، وكلُّ من خالفه فقد جرّ نفسه إلى اللظى”. Laa Nabiyya lanaa tahtas samaa-i min duuni Nabiyyina al-Mujtabaa, wa laa kitaaba lana min duunil Qur’aan, wa kullu man khaalafahu faqad jarra nafsahu ilal lazhzha.’ “Bagi kita tidak ada Nabi di bawah bentangan langit ini selain Nabi kita, al-Mujtaba Yang Istimewa, Nabi Muhammad saw dan tiada kita bagi kita selain al-Qur’an, dan setiap orang yang menentangnya maka ia telah melarikan jiwanya menuju api yang menyala-nyala.” Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan tempat yang tak terhitung dan menyebutkan kedudukan beliau dalam konteks ini dan bersabda bahwa jika umat Muslim teguh dalam agamanya dan mengikuti Nabi Muhammad saw secara benar tentu kedatangan beliau tidak diperlukan. Hadhrat Masih Mau’ud as telah berkali-kali menjelaskan makna dan kedudukan yang sebenarnya dari Khataman Nubuwwah, dan juga perihal kedudukan beliau yang sesungguhnya. Dalam satu tempat beliau bersabda “Dari segi permisalan duniawi, Khataman Nubuwwah itu seibarat bulan sabit yang pada empat belas hari kemudian secara berangsur-angsur mencapai tahap kesempurnaan yang disebut sebagai Badr. Demikian juga kualitas dan keunggulan kenabian mencapai kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Mereka yang mengimani secara paksa bahwa kenabian telah berakhir dan tidak perlu mengunggulkan Nabi Muhammad saw diatas Yunus ibn Mata, sebenarnya mereka tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Mereka tidak tahu keutamaan-keutamaan dan keunggulan-keunggulan Nabi saw. Meskipun kelemaham pemahaman mereka ini dan sedikitnya ilmu mereka ini, mereka menuduh kita mengingkari Khataman Nubuwwah. Mereka tidak paham Khataman Nubuwwah dan mereka menuduh kita menolak Khataman Nubuwwah Apa yang harus saya katakan kepada mereka yang sakit dan bagaimanakah saya berprihatin atas mereka? Jika mereka tidak sampai derajat ini dan tidak menjauh dari hakikat Islam, apa perlunya saya datang? Keimanan mereka telah amat melemah. Mereka tak paham pemahaman mengenai Islam dan tujuannya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada sebabnya mereka memusuhi orang benar dengan permusuhan yang sampai membuat yang memusuhi mengarah pada kekafiran.” Artinya, beliau as yang berada dalam kebenaran dan yang diutus oleh Allah serta mengimani Rasul itu Nabi Muhammad saw dengan keimanan sempurna dan meyakininya apakah ada hujjah dasar alasan untuk menentangnya? Tidak akan ada hujjah yang dapat menentang Al-Masih yang dijanjikan karena permusuhan terhadap seorang utusan ALlah menjadikan seseorang sebagai orang ingkar. Orang-orang yang mengkafirkan akan menjadikan dirinya keluar dari daerah Islam sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits Nabi Muhammad saw juga. Mereka yang menyebut kita kafir dan mendasarkan diri pada tuduhan-tuduhan ini maka tuduhan kafir mereka itu akan berbalik pada mereka. Kita katakan kepada umat Muslim yang mengucapkan dua kalimah Syahadat dengan penuh simpati, “Kasihanilah keadaan kalian. Perhatikanlah! Renungkanlah apa yang ALlah Ta’ala inginkan dari kalian dan apa yang Dia firmankan pada kalian.” Kutipan-kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud as yang saya sampaikan ini semoga menjadi wasilah sarana hidayah bagi umat Muslim yang baik dan membuat mereka merenungi keadaan diri mereka daripada fokus menuduh kita. Setelah pengajuan isu pembaharuan pengubahan di Majelis Nasional Pakistan mengenai perubahan pasal-pasal dalam konstitusi [diantaranya mengenai hak-hak orang Ahmadi menjadi anggota militer dilarang], beberapa hari kemudian seorang anggota parlemen membuat pidato yang isinya menghasut tanpa sebab. Pidato tersebut tidak hanya ditujukan untuk memanaskan perasaan para anggota majelis yang terhormat saja, namun juga mencoba untuk menyulut kemarahan masyarakat umum dan menyebabkan kekacauan di seluruh Negara, sehingga seluruh rakyat bangkit untuk memusuhi Ahmadiyah. Dia juga ingin membuktikan bahwa dia adalah seorang pemimpin dan sangat setia pada negara ini. Ia melakukannya untuk mendapatkan kehidupan politik baru, namun dia telah dikecam oleh beberapa orang bijak dari kalangan politisi, media dan bangsawan. Diharapkan sekelompok orang berjiwa mulia di Pakistan mulai muncul dan menaikkan suaranya terhadap tatanan yang salah dan mengatakan kepada orang ini tentang fakta dan kenyataan keberatan atasnya. Anggota Parlemen tersebut berkata, “Suatu keharusan kita untuk tidak menamai Departemen Fisika di Universitas Qaid-e-A’zham Pemimpin Besar, julukan untuk Pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah dengan nama Doktor Abdus Salam karena dia orang kafir dan tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah.” Anggota ini seharusnya berpikir bahwa yang melakukan penamaan tersebut adalah Perdana Menteri dan pemimpin partainya sendiri, dan tidak hanya itu, bahkan dia adalah ayah mertua dari anggota parlemen ini. Mengapa dia tidak menunjukkan sentimennya saat proses penamaan berlangsung, dan mengapa dia menunjukkannya sekarang? Apakah hanya karena partainya dituduh melakukan korupsi dan ia berpikir satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan meluncurkan pernyataan menentang Jemaat. Para Ahmadi tidak terpengaruh apakah kalian menamai lembaga sains itu dengan nama Dr. Abdus Salam atau tidak. Bahkan, orang terdekat almarhum Dr Abdus Salam, salah seorang putranya menulis kepada Perdana Menteri sebuah surat pada hari penamaan lembaga itu dengan nama ayahnya yang mana surat itu tidak pernah mereka tanggapi balas. Salah seorang putra Doktor Abdus Salam menulis namanya dan atas nama seluruh anak-anaknya dalam surat itu “Kami sangat heran bahwa pemerintah Pakistan baru ingat setelah dua puluh tahun kewafatan Dr Abdus Salam untuk menamai sebuah departemen dengan nama fisikawan terkenal ini.” “Konstitusi Pakistan menamai ayah saya sebagai non Muslim, dan ayah saya ini terkejut karena itu, tapi beliau tidak pernah menyerahkan kewarganegaraannya kebangsaannya sebagai warga Pakistan dengan menjadi warga Inggris, Italia dan bahkan India padahal ketiga Negara itu menawarinya pemberian kewarganegaraan, tetapi beliau menolak dan berkata Saya adalah seorang yang setia kepada Pakistan. Saya akan tetap setia kepadanya selamanya sebagaimana saya akan terus berusaha untuk kepentingan Pakistan, dan telah serta masih melakukannya.’ Singkatnya, anak-anak Dr Abdus Salam menulis surat kepada Perdana Menteri, “Kami adalah orang-orang Muslim dan terkait dengan Jemaat Ahmadiyah demi Allah Ta’ala saja dan kami mengimani Hadhrat Masih Mau’ud as, maka dari itu, kami, keluarga Dr Abdus Salam dan putra/inya berlepas diri dari keputusan pemerintah ini daripada bersukacita karena hak-hak kami dicuri di Pakistan serta akidah-akidah kami tidak diakui sebagaimana yang kami katakana tersebut di atas.” Ini adalah reaksi dari anak-anak Dr Abdus Salam. Jika parlemen Pakistan ingin mengubah nama lembaga tersebut silakan mengubahnya. Keluarga Dr. Abdus Salam atau Jemaat tidak peduli tentang hal ini. Pengkritik itu pun mengatakan, “Jangan mempekerjakan para Ahmadi dalam ketentaraan.” Padahal sejarah Pakistan hingga sekarang menjadi saksi bahwa para Ahmadi yang berdinas di ketentaraan semuanya berkorban demi negara mereka. Merupakan sebuah hal yang umum bahwa mereka yang mengorbankan jiwa ialah para tentara biasa atau perwira berpangkat rendah dari Kapten atau Mayor, namun para Ahmadi meski telah berpangkat Brigadir juga, mereka ikut bertempur di garis depan bersama para tentara dan disyahidkan juga. Media massa di Pakistan juga mengakui dan menulis, “Fakta-fakta telah jelas. Itu ialah tuduhan batil.” Lalu Media itu pun menginformasikan tentang Jenderal Akhtar, Jenderal Ali dan Jenderal Iftikhar yang telah disyahidkan gugur dalam pertempuran membela Pakistan. Adapun anggota Parlemen yang mengkritik ini dan menyampaikan pidato bodoh ialah seorang Kapten dalam ketentaraan lalu berhenti dari dinas ketentaraan karena ia menjadi tentara putra Perdana Menteri, berlomba mengumpulkan harta dan bergabung dalam politik. Jika ia benar-benar cinta tanah air maka seharusnya ia tetap dalam dinas ketentaraan dan berkorban demi negara. Tuduhan lain yang ditujukan terhadap Ahmadiyah adalah orang-orang Ahmadiyah tidak mengabdi pada negaranya serta tidak setia. Tapi saya bisa katakan dengan penuh keyakinan bahwa hari ini hanya para Ahmadi yang mengikuti dan mengamalkan ajaran حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ “Hubbul Wathani Minal Iman”. Di jalan itu, para Ahmadi bersedia mengorbankan jiwa dan harta mereka, dan sekarang sedang melakukannya. Para Ahmadi bukanlah seperti mereka yang berpidato untuk kepentingan politik. Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik melainkan kami siap mengorbankan hidup kami demi agama. Kami bukanlah orang-orang yang sibuk memunculkan pandangan kami ini demi keuntungan politis dan untuk itu mengorbankan tumpahnya darah atas nama agama. Kami percaya dengan sepenuh hati bahwa Hadhrat Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Untuk menjaga kehormatan beliau saw, kami siap mengorbankan diri kami, dan ini yang kami lakukan dan Insya Allah, kami masih dan akan terus berkorban. Adalah kewajiban para Ahmadi yang menetap di Pakistan agar berdoa semoga Allah Ta’ala melindungi Negara tempat para Ahmadi telah berkorban amat banyak untuknya dari sejak awal hingga sekarang. Semoga Allah Ta’ala menjaga negara tersebur dari pemerintahan tirani yang menindas dan dari para ulama yang mementingkan dirinya sendiri. Semoga Pakistan termasuk diantara Negara yang merdeka dan beradab di dunia. aamiin Penerjemah Dildaar Ahmad Dartono & Yusuf Awwab ________________________________ [1] Barahin-e-Ahmadiyya [2] Malfuzhat, jilid I, halaman 342, edisi 1985, terbitan UK [3] Malfuzhat, jilid I, halaman 341-342, edisi 1985, terbitan UK [4] Al-Hakam, jilid 3, nomor 1, hlm. 6-9 pada tanggal 10/1/1899 [5] مواهب الرحمن، الخزائن الروحانية المجلد 19، الصفحة 285-287 Mawahibur Rahman, Ruhani Khazain jilid 19, h. 285-287, terjemahan dari bhs Arab [6] Malfuzhat jilid 1. [7] Jenderal Akhtar Husain Malik, atas peranannya dalam perang India-Pakistan, hampir seluruh Kashmir jatuh ke tangan Pakistan pada 1965. Namun, komando beliau diganti di tengah-tengah kemenangan yang hampir penuh itu dan kembali Pakistan dipukul mundur tentara India; Jenderal Abdul Ali Malik, Jenderal yang berperan penting menahan laju dan memundurkan tentara dan tank-tank India yang tengah maju membelah Pakistan menjadi dua bagian. Selain mereka, berperan juga Brigadir Iftikhar Janjua, Jenderal Iftikhar Janjua, sejumlah Mayor dan Kolonel Ahmadi. Demikian pula, para Komodor dan pilot Ahmadi. [8] Menantu Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, yaitu Kapten
Islam(Arab: al-islām, الإسلام "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah.Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim.Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia [1] [2],
ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Rate This ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Ayat KS Aquran Quran Suci/QS Surat Al Ahzab 3340 A’udzubillah himinasy-syaithan …… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi. Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri. Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik ayat 1, dalam hal status anak angkat dll., menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri ayat 4, tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka ayat 5, dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin. Selain yang artinya penutup yaitu khatim ada banyak arti dari kata Khatam yaitu Cincin, perhiasan bagi yang memakainya, meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup khatim, terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya 1. Nabi bersabda kepada Hadhrat Ali Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia khatam dari Wali-wali Tafsir Safi & Jalandari, benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali. 2. Imam Safi’i 767-820 juga disebut “khaatam-ul auliya” Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45. 3. Rasulullah berkata kepada Umar Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. Kanzul Umal. 4. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top mulia 5. Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh? 6. Abu Tamaam At-Ta-i 804-805 ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara Ahli syair. Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo. Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? 7. Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H. 8. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits Hadya Al-Shiah, hal. 210. 9. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim Mirtusuruh hal. 38, Khatam Al-Hukkam. 10. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271, Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi. Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini. Kepercayaan tentang Nabi Muhammad adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval pertengahan , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman. Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini 1. KHATAM-USH-SHU’ARAA seal of poets was used for the poet Abu Tamam. Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo. 2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian 3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Ala Alme’ry. ibid, footnote. 4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. Hayati Sa’di, p. 117. 5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. Hayati Sa’di, p. 87 Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time. 6. KHATAM-AL-AULIYAA seal of saints for Hazrat Ali May God be pleased with him. Tafsir Safi, Chapter AlAhzab Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last? 7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45. 8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul Arabee. Fatoohati Makkiyyah, on title page. 9. KHATAM-AL-KARAAM seal of remedies used for camphor. Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304 Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”? 10. KHATAM-AL-A’IMMAH seal of religious leaders used for Imam Muhammad Abdah of Egypt. Tafseer Alfatehah, p. 148 Don’t we have leaders today? 11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN seal of crusaders for AlSayyad Ahmad Sanosi. Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN seal of research scholars used for Ahmad Bin Idrees. Al’Aqadun Nafees 13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Abul Fazl Aloosi. on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee 14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. Al Haraab, p. 372 15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. Title page of Tafseerul Taqaan 16KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. ’Ijaalah Naafi’ah, vol. 1 17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ seal of custodians for AlShaikh Shamsuddin. AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4 A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it. 18. KHATAM-AL-AULIA seal of saints used for the greatest saint. Tazkiratul Auliyaa’, p. 422 19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. Fatoohul Ghaib, p. 43 20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA seal of jurists used for Al Shaikh Najeet. Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators or exegetes for Shaikh Rasheed Raza. Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. Tafseerul Akleel, title page 23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Al Shaikh Muhammad Najeet. Al Islam Asr Shi’baan, 1354 24. KHATAM-AL-WALAAYAT seal of sainthood for best saint. Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271 25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN seal of narrators and commentators used for Shah Abdul Azeez. Hadiyyatul Shi’ah, p. 4 26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH seal of bodily creatures used for the human being. Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt 27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. Al Rasaail Naadirah, p. 30 28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1 29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul Asqalaani. Tabqaatul Madlaseen, title page 30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators used for Maulvi Muhammad Qaasim. Israare Quraani, title page 31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators used for Imam Siyotee. Hadiyyatul Shee’ah, p. 210 32. KHATAM-AL-HUKKAAM seal of rulers used for kings. Hujjatul Islam, p. 35 33. KHATAM-AL-KAAMILEEN seal of the perfect used for the Holy Prophet pbuh. Hujjatul Islam, p. 35 34. KHATAM-AL-MARAATAB seal of statuses for status of humanity. ’Ilmul Kitaab, p. 140 We have the “highest, not “last” status. 35. KHATAM-AL-KAMAALAAT seal of miracles for the Holy Prophet pbuh. ibid, p. 140 36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH seal of mystics of the nation for Jesus peace be on him. Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184 37. KHATAM-AL-AUSIYAA seal of advisers for Hazrat Ali Minar Al Hudaa, p. 106 38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN seal of teachers/scholars used for the Holy Prophetpbuh. Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet pbuh, but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”. 39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Al Shaikhul Sadooq. Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh 40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99 Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini 1. “Katakanlah bahwa beliau Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi. 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu tidak ada Nabi sesudahnya” Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, 3. Rasulullah adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani. 4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i kenabian yang pakai syariat, maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73. Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis “Inilah arti dari sabda Rasulullah “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3 Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85. 5. Mulla Ali Al-Qari berkata “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .Maudhuat Kabir, halaman 59. 6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …Iqtirabussa’ ah, halaman 162. 7. Imam Sya’rani berkata”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42. 8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW khaatamannabiyyin” …..Al- Insanul Kamil halaman 66. 9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. Tafhimati Ilahiyah, halaman 53. 10. Imam Suyuti berkata “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia Isa yang dijanjikan sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426. 11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani berkata “Dan sabda Nabi “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.” Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42. 12. Imam Thahir Al Gujrati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85. 13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau dan bukan ummati beliau Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69. 14. Peristiwa wafatnya Ibrahim putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah tercatat sebagai berikut Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511.Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya. 15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh Mujaddid abad IX menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu. Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf 1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin “Dengannya Rasulullah saw telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”. 2. Abu Ubaidah wafat 209 H ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”. 3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi wafat 339 H dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”. 4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an al ahzab 40, maka artinya “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”. 5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at tentang Khaatam Al Nabiyyin “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memasukkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”. 6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”. 7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”. 8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani menulis ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. Taqribul Muram, jld 2, hal 233. 9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i pembawa Syariat telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” Fushushul Hakam, hal 140-141. Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 ” Berkata ia Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada Nabi maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”. 10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. Takmilah Majma’il Bihar, hal 85. 11. Siti Aisyah bersabda “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, 12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani Wafat 976H menulis “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i yg membawa syariat yg telah tutup”. Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2, Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian jenis apapun bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa 1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi tersempurna yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw. 2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam. 3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau Beliau saw penutup Kenabian Syar’i. 4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup. 5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya.
NabiMuhammad SAW merupakan nabi terakhir (Khataman Nabiyyin) yang ada di muka bumi ini, dan tidak ada lagi nabi-nabi sesudahnya. Artinya: Adalah sahih (pendapat) bahwa Nabi lahir pada bulan Rabiul Awal tanggal 20 tahun Gajah pada masa kaisar Anu Syarwan. – Ibnul Amid dalam kitab Mukhtashar at-Tarikh menyatakan
Masroor Library – Keberatan yang dilontarkan kepada Jemaat adalah bahwa Jemaat tidak meyakini Nabi Muhammad Rasulullah SAW sebagai Khataman Nabiyyiin. Ingatlah bahwa anggapan ini adalah keliru, Jemaat Ahmadiyah meyakini dan berakidah bahwa Hazrat Muhammad Rasulullah SAW adalah Khataman Nabiyyiin dan kami meyakini sepenuhnya kepada Khataman Nabiyyiin beliau saw. Kaum kuffar Makkah sering mengolok-olok Rasulullah saw na’udzubillah bahwa katanya Huzur saw tidak memiliki anak dan mereka lontarkan itu sebagai olok-olokan bagi Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran Karim bahwa memang benar Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara kamu melainkan Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyiin. Ingatlah bahwa kaum kuffar pun senantiassa mengolok-olok dan Allah Ta’ala senantiasa menjawab olok-olokan mereka. Ketika suatu keberatan itu dijawab maka jawabannya itu adalah dijelaskan keafdolan beliau saw; Inilah olok-olok yang kalian berikan padahal maqom orang ini begitu luar biasanya. Kita harus menterjemahkan ayat ini dengan memperhatikan latar belakang turunnya ayat ini. Terjemahnya adalah; “Memang benar bahwa Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara kalian, tapi dia sebenarnya adalah Rasul Allah dan tidak hanya Rasul Allah melainkan Khaataman Nabiyyiin yakni nabi yang paling afdol di antara seluruh nabi dan secara rohani beliau adalah bapak dari seluruh nabi”. Keberatannya apa? Bahwa Rasulullah bukanlah bapak tidak mempunyai anak, memang dia bukanlah ayah dari siapapun tapi dia adalah ayah dari seluruh nabi. Coba kita lihat bagaimana para penentang kita menterjemahkan ayat tadi; bahwa Rasulullah saw bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki diantara kalian, tapi Rasul Allah dan nabi terakhir tidak ada nabi yang akan datang setelah beliau. Jadi sebagaimana telah saya jelaskan bahwa disini maksudnya adalah keutamaan atau keunggulan. Tapi dengan penerjemahan dari para penentang kita, maka tidak kita temukan kemuliaan atau keunggulan nabi kita. Sebab dengan menjadi nabi terakhir maka tidak ada makna atau kegunaan yang menjadi keutamaan beliau, bahkan jika kita lihat di satu sisi ini menjadi suatu penghinaan. Kita harus lihat bahwa kenabian itu suatu nikmat dari Allah Ta’ala atau suatu hukuman? Kalau ini merupakan hukuman maka yang akan menghilangkannya itu tentu yang termulia, tapi jika kenabian itu anugerah dari Allah Ta’ala maka yang menghabiskan itu bukan yang termulia. Sebab hanya dengan meneruskan karunia-karunia Allah Ta’ala itulah yang merupakan suatu kemuliaan atau keutamaan. Hal berikutnya ialah bahwa para penentang kita menterjemahkan bahwa Huzur saw adalah nabi terakhir dan setelah beliau tidak ada nabi lagi yang datang, tapi bersama dengan itu juga mereka meyakini bahwa nabi Isa as akan datang untuk kedua kali ke dunia ini. Jadi apakah perkataan mereka yang benar itu yang pertama atau yang terakhir? Kalau Nabi Muhammad saw yang terakhir maka tentunya Nabi Isa as tidak boleh datang, kalau Nabi Isa as akan datang maka Nabi Muhammad saw berarti bukan yang terakhir. Jadi dari sisi pemaknaan mereka pun mengingkari Khataman Nabiyyiin, jadi Jemaat Ahmadiyah tidak mengingkari Khataman Nabiyyiin yaitu bahwa kita mengakui beliau adalah Khataman Nabiyyin yang berarti beliau adalah Nabi yang termulia dari semua nabi. Sedangkan pengertiaan yang dikemukakan para penentang kita akal pun tidak bisa menerimanya, bahwa sejak dari dahulu kala jika di dunia telah terjadi kerusakan maka untuk menyembuhkan penyakit itu Allah Ta’ala mengirimkan nabi-nabi dan sesuai sunahNya Allah Ta’ala berfirman; Lantajida fisunnati tabdiila artinya kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnah Allah Ta’ala. Kita tidak akan mungkin menerima suatu kenyataan bahwa jika Allah swt berfirman bahwa Allah Ta’ala tidak merubah sunahNya dan kita menyaksikan bahwa di dunia ini telah terjadi kerusakan dan seluruh dunia seakan menyatakan bahwa dunia membutuhkan seorang pembaharu bahkan para penentang kita pun mengakui kenyataan demikian tapi herannya mereka mengingkari kenabian. Jadi hal ini semisal seseorang yang mendirikan rumah sakit di mana para pasien akan masuk tetapi pihak rumah sakit mengumumkan bahwa dokter tidak ada di rumah sakit itu, maka orang yang berakal manayang akan bisa mengatakan bahwa yang mendirikan rumah sakit ini benar? karena apa manfaat rumah sakit ini? ketika untuk manusia kita tidak dapat memikirkan hal yang bodoh seperti itu, maka bagaimana kita akan bisa melakukan suatu penghinaan kepada Allah Ta’ala seperti itu? Jadi mari kita perhatikan bagaimana Jemaat Ahmadiyah telah mengartikan Khataman Nabiyyiin itu, apakah loghat Arab mendukungnya? Maka jika kita lihat dari sisi loghat makna Khatam digunakan untuk dua hal, yang pertama dimaknai cincin. Kenapa kita menggunakan cincin? Cincin adalah untuk keindahan, karena orang yang menggunakan cincin akan terlihat indah. Dari sini pengertian Jemaat Ahmadiyah itu benar bahwa semua keindahan para nabi berada pada diri Rasulullah saw. Makna kedua dari Khatam adalah cap, ini pun diambil dari cincin karena pada zaman dahulu cincin lah yang dijadikan alat untuk mencap dan Rasulullah memiliki cincin dan menggunakannya untuk mencap dan para penentang kita pun menyebarkan mengenai cincin tersebut di dalam percetakan mereka. Banyak sekali gambar-gambar terkait cincin tesebut, yang jika kita lihat pada cincin itu ada kata Muhammad dan ada kata Rasul kemudian di atasnya lagi kata Allah. Beliau saw suka mencapkan cincin ini pada akhir surat beliau. Dari sini kita bisa lihat bahwa apa arti dari cap tersebut? Bahwa difirmankan; Muhammad saw bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki di antara kamu melainkan dia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyiin. Lalu kenapa kita maknakan cap? Ada dua penyebabnya. Yaitu ketika kita menulis surat maka untuk mengesahkannya dengan cap, pemberian cap pada surat itu untuk mensyahkan bahwa kita menyetujui apa-apa yang tertulis di surat itu. Maka apa arti Khataman Nabiyyiin ? Yaitu bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang membenarkan semua nabi sebelum beliau; mushoddiqon bainakum yakni bahwa Nabi inilah yang mengesahkan semua nabi-nabi sebelum beliau dan ini artinya juga suatu keutamaan. Jadi bukan beliau saja sebagai nabi tetapi nabi-nabi sebelum beliau pun memerlukan pengesahan dari belaiu saw, yaitu bahwa orang-orang di masa yang akan datang akan menerima nabi-nabi itu setelah disahkan oleh Rasulullah saw. Kalau Nabi Muhammad saw tidak mengatakan ini kepada kita, bahwa nabi-nabi sebelum beliau seperti Nabi Adam, Nabi nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa Alaihimussalam, jika beliau tidak mengatakan bahwa mereka itu nabi, maka kita tidak akan beriman kepada beliau-beliau itu? tapi Nabi Muhammad saw mengesahkan mereka. Jadi bahwa dari sisi ini beliau saw Nabi yang mengesahkan nabi-nabi sebelum beliau maka beliau dikatakan Khaataman Nabiyyiin. Cap digunakan juga untuk maksud yang lain sebagaimana di kantor pos cap pun digunakan, begitu juga di Bank digunakan cap. Apa maksudnya? Jika tuan memberikan surat ke kantor pos maka penjaga pos memberikan cap pada surat tersebut dan apa maksudnnya? Bahwa surat ini kan diteruskan kepada siapa surat itu dimaksudkan. Demikian juga jika kita mengajukan surat dengan cap ini ke Bank maka apa yang menjadi pengajuan, maka Bank akan membayarkannya. Maka apakah arti Khataman Nabiyyiin dari sisi ini? bahwa Nabi Muhammad saw dengan mengenakan cap Khataman Nabiyyiin maka beliau akan meneruskan terbukanya silsilah kenabian yaitu bahwa hanya nabi yang memiliki cap beliau lah yang dapat menjadi nabi, sebagai umat beliau lah yang akan menjadi nabi, yang taat mengikuti beliau dan menjalankan syariat beliau. Dari sisi ini maka Jemaat Ahmadiyah lah yang benar sehingga menunjukan keagungan beliau saw yaitu bahwa wujud tersebut bukan hanya nabi tetapi juga mampu menjadikan orang yang mengikuti beliau mencapai kedudukan itu. Seorang guru yang benar adalah ketika dia mampu membimbing muridnya menjadi guru dan guru yang tidak benar adalah guru yang tidak mampu membawa kemajuan bagi murid-muridnya, sedangkan umat nabi muhammad saw adalah umat yang bisa sampai kepada taraf kenabian. Jadi dari sisi ini maka Huzur saw bukan hanya nabi yang mensyahkan nabi-nabi sebelumnya bahkan nabi-nabi yang akan datangpun harus dari mereka yang mengikuti beliau. Sekarang kita melihat bahwa apakah beliau saw juga telah mengartikan makna demikian ini? Maka kita menemukan berbagai macam penggunaan di dalam hadits. Huzur bersabda “Aku adalah akhirul anbiya dan mesjidku adalah akhir dari mesjid”. Apakah setelah Mesjid Nabawi yang beliau dirikan maka tidak ada lagi mesjid yang boleh didirikan? Dan di tempat lain beliau bersabda mengenai putra beliau Hazrat Ibrahim bahwa “jika putra ini tetap hidup maka ia akan menjadi nabi yang benar”. Sebelum wafat anak beliau ini, ayat khataman nabiyyiin telah turun dan beliau memahami tentang ayat khataman nabiyyiin. Beliau memahami bahwa ayat ini tidak akan menghalangi kedatangn nabi-nabi di masa yang akan datang. Kemudian oleh karena itu maka beliau mengatakan jika anak ini hidup maka dia akan menjadi nabi yang benar. Sebagian orang mengajukan keberatan, katanya Allah Ta’ala mewafatkan Ibrahim putra Rasulullah saw pada usia muda karena tidak boleh ada nabi lagi setelah Rasulullah saw. Jika ini benar maka Rasulullah saw akan bersabda bahwa kalau dia tetap hidup dia tidak akan menjadi nabi sebab ayat khataman nabiyyiin telah turun, tetapi Huzur tidak bersabda demikian melainkan jika dia hidup maka dia akan menjadi nabi. Demikian juga ada lagi riwayat lain dari Huzur saw bahwa “jika saya tidak menjadi nabi maka umar akan menjadi nabi”. Jadi semua hadits ini mengisyaratkan bahwa beliau tidak memahami pengertian khataman nabiyyiin sebagaimana yang difahami oleh para penentang kita, dan juga ada sabda dari Hazrat Aisyah ra bahwa “kullu innahu khaatamul anbiyya-u walaa takuulu laa nabiyya ba’dah” yakni “katakanlah bahwa Nabi Muhammad saw adalah khatamul anbiya tetapi jangan kamu katakan bahwa setelah beliau tidak ada nabi yang datang”. Begitu juga dalam umat Islam banyak sekali orang-orang suci yang mengetahui akan berlangsungnya kenabian. Diantaranya Hazrat Imam Malik, Imam Bukhari, Imam As-Sya’rani, Imam Muhyiddiin Ibnu Arabi; ini hanya beberapa contoh dari sekian banyak nama-nama lain, dan sangat jelas tertulis dalam kitab-kitab mereka bahwa ayat khataman nabiyyiin tidak menutup pintu kedatangan para nabi. Selain itu yang mulia Rasulullah saw bersabda ulama fii ummati kaanbiya bani israil, jika pemahaman akan nabi telah tertutup maka tentu beliau tidak akan berkata demikian. Jadi umat dari seorang rasul jika seperti seorang nabi kedudukannya, maka bagaimana mungkin dalam umat itu tidak akan ada nabi? Semua umat Islam di dunia ini sekurang-kurangnya 20 sampai 25 kali dalam sehari senantiasa berdo’a; ihdinash-shiratal mustaqiim shiratal ladziina an’amta alaihim. Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang pada mereka telah turun karunia-karuniamu. Karunia apa yang telah turun kepada mereka? Al-Quran Karim telah mengatakan kepada kita bahwa dari antara nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang paling tinggi adalah kenabian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman bahwa Allah Ta’ala telah memberikan nikmat kepada mereka dan menjadikan mereka dari antara para nabi, dari antara para shidiq, dari antara shahid dan dari shalihiin. Jika para penentang kita mengakui bahwa kenabian sudah tidak berlangsung lagi, maka mereka berdoa untuk memperoleh nikmat yang mana? Jadi jika nikmat kenabian sudah tertutup maka semua nikmat pun akan habis karena nikmat yang Allah Ta’ala sebut itu berada dalam satu ayat yang sama yaitu kenabian, keshiddiqan, kesyahidan, keshalehan, jika tiga nikmat ini masih ada maka nikmat yang ke-empatnya pun masih boleh didapat, tapi kalau satu tertutup maka semuanya harus tertutup. Dari sini kita mengambil satu misal lagi, jika kata khatamun nabiyyiin digunakan untuk Rasulullah saw dan untuk mesjid pun dikatakan akhirul masajid, untuk Sayyiidina Ali pun digunakan khatamul Auliya, Mutanabi pun dikatakan khatamus Syu’ara, Ibnu Shina juga dikatakan khatamul at-Tiba’, jika semua pernyataan itu menggunakan kata yang sama maka pasti terjemahannya pun sama. Jika kata khataman digunakan sebagai penutup maka semuanya memiliki arti demikian, sehingga kesimpulan yang akan muncul adalah dari umat Rasulullah saw tidak akan ada nabi yang bisa datang, tidak juga shidiq, syahid atau shalih. Tidak ada lagi Wali dalam Islam, tidak ada juga penyair dalam umat Islam, tidak juga ada Tabib dalam umat Islam, juga tidak ada mesjid yang didirikan lagi. Lalu pertanyaannya apa gunanya umat seperti itu? Karena kan terjemahannya harus sama. dimana letak keutamaannya? Dari antara kita misalnya membeli bahan pakaian di toko itu pasti ada meteran untuk mengukur bahan pakaian, ukurannya pasti sama apakah itu untuk sutra atau katun dan yang lainnya. Tidak mungkin ukuran akan berbeda untuk sutra dan untuk yang lain. Demikian juga kata khatam itu harus satu apakah itu digunakan untuk Rasulullah, untuk Abu Shina atau untuk Hazrat Ali maka harus ditejemahkan satu pengertian tidak dapat diterjemahkan untuk Rasulullah lain, untuk Ibnu Shina lain dan untuk Hazrat Ali lain lagi. Oleh karena itu saudara-saudara kita harus memahami bahwa kata itu harus diterjemahkan sama disetiap tempat yang digunakan sehingga akan diakui oleh akal dan didukung oleh lughot, maknanya ialah bahwa Rasul Karim saw adalah nabi yang termulia dari semua nabi. Beliau mengesahkan semua nabi sebelum beliau dan juga akan membuka pintu kenabian melalui beliau di masa yang akan datang. Nabi-nabi yang terdahulu memerlukan pengesahan beliau dan juga nabi yang akan datang membutuhkan mengikuti beliau. Mesjid nabawi adalah masjid termulia dari semua mesjid, Hazrat Ali adalah yang termulia dari para wali, Mutanabi yang tertinggi dari para penyair, Ibnu Shina juga tertinggi dari para Tabib, maka tidak ada yang akan menentang pengertian seperti itu. Jadi kata khatam digunakan untuk menyatakan sesuatu sampai kepada tahapnya yang tertinggi, yakni digunakan untuk menunjukan kesempurnaan dan hal ini juga digunakan di berbagai bahasa. Hal ini telah khatam dalam diri seseorang yang berarti bahwa tidak ada seseorang yang melebihi perkataannya tapi hanya pengertian bahwa dia telah memulai dan mengatakan itu pada tahap yang terbaik. Jadi Nabi Muhammad saw telah menyampaikan pada tahap kenabian yang tertinggi dan inilah aqidah dari Ahmadiyah bahwa Hazrat Rasulullah saw adalah khataman nabiyyin. [Tn Hafidz] Tafsir Khataman Nabiyyin Materi Refresher Course Mubalighin 2017 disampaikan oleh Mln Laiq Ahmad Shd Artikel selanjutnya tentang Tafsir Khataman Nabiyyin
MakaAli pun mengatakan kalimat seperti yang sudah disinggung di awal, bahwa ini adalah kalimat yang haq yang dipakai untuk membenarkan kesesatan mereka! khataman nabiyyin jelas artinya sebagai penutup para Nabi. Atau mereka memahami ayat: “Memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku (nabi Isa AS
Dikompilasi dari berbagai tulas, hasil korespondensi di internet ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Ayat KS Aquran Quran Suci/QS Surat Al Ahzab 3340 A’udzubillah himinasy-syaithan …… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi. Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri. Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik ayat 1, dalam hal status anak angkat dll., menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri ayat 4, tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka ayat 5, dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin. Selain yang artinya penutup yaitu khatim ada banyak arti dari kata Khatam yaitu Cincin, perhiasan bagi yang memakainya, meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup khatim, terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya Nabi bersabda kepada Hadhrat Ali Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia khatam dari Wali-wali Tafsir Safi & Jalandari, benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali. Imam Safi’i 767-820 juga disebut “khaatam-ul auliya” Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45. Rasulullah berkata kepada Umar Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. Kanzul Umal. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top mulia Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh? Abu Tamaam At-Ta-i 804-805 ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara Ahli syair. Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo. Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits Hadya Al-Shiah, hal. 210. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim Mirtusuruh hal. 38, Khatam Al-Hukkam. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271, Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi. Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini. Kepercayaan tentang Nabi Muhammad adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval pertengahan , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman. Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini 1. KHATAM-USH-SHU’ARAA seal of poets was used for the poet Abu Tamam. Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo. 2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian 3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Ala Alme’ry. ibid, footnote. 4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. Hayati Sa’di, p. 117. 5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. Hayati Sa’di, p. 87 Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time. 6. KHATAM-AL-AULIYAA seal of saints for Hazrat Ali May God be pleased with him. Tafsir Safi, Chapter AlAhzab Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last? 7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45. 8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul Arabee. Fatoohati Makkiyyah, on title page. 9. KHATAM-AL-KARAAM seal of remedies used for camphor. Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304 Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”? 10. KHATAM-AL-A’IMMAH seal of religious leaders used for Imam Muhammad Abdah of Egypt. Tafseer Alfatehah, p. 148 Don’t we have leaders today? 11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN seal of crusaders for AlSayyad Ahmad Sanosi. Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN seal of research scholars used for Ahmad Bin Idrees. Al’Aqadun Nafees 13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Abul Fazl Aloosi. on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee 14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. Al Haraab, p. 372 15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. Title page of Tafseerul Taqaan 16. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. Ijaalah Naafi’ah, vol. 1 17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ seal of custodians for AlShaikh Shamsuddin. AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4 A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it. 18. KHATAM-AL-AULIA seal of saints used for the greatest saint. Tazkiratul Auliyaa’, p. 422 19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. Fatoohul Ghaib, p. 43 20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA seal of jurists used for Al Shaikh Najeet. Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators or exegetes for Shaikh Rasheed Raza. Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. Tafseerul Akleel, title page 23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Al Shaikh Muhammad Najeet. Al Islam Asr Shi’baan, 1354 24. KHATAM-AL-WALAAYAT seal of sainthood for best saint. Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271 25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN seal of narrators and commentators used for Shah Abdul Azeez. Hadiyyatul Shi’ah, p. 4 26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH seal of bodily creatures used for the human being. Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt 27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. Al Rasaail Naadirah, p. 30 28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1 29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul Asqalaani. Tabqaatul Madlaseen, title page 30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators used for Maulvi Muhammad Qaasim. Israare Quraani, title page 31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators used for Imam Siyotee. Hadiyyatul Shee’ah, p. 210 32. KHATAM-AL-HUKKAAM seal of rulers used for kings. Hujjatul Islam, p. 35 33. KHATAM-AL-KAAMILEEN seal of the perfect used for the Holy Prophet pbuh. Hujjatul Islam, p. 35 34. KHATAM-AL-MARAATAB seal of statuses for status of humanity. Ilmul Kitaab, p. 140 We have the “highest, not “last” status. 35. KHATAM-AL-KAMAALAAT seal of miracles for the Holy Prophet pbuh. ibid, p. 140 36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH seal of mystics of the nation for Jesus peace be on him. Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184 37. KHATAM-AL-AUSIYAA seal of advisers for Hazrat Ali Minar Al Hudaa, p. 106 38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN seal of teachers/scholars used for the Holy Prophetpbuh. Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet pbuh, but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”. 39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Al Shaikhul Sadooq. Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh 40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99 Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini 1. “Katakanlah bahwa beliau Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi. 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu tidak ada Nabi sesudahnya” Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, 3. Rasulullah adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani. 4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i kenabian yang pakai syariat, maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73. Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis “Inilah arti dari sabda Rasulullah “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3 Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85. 5. Mulla Ali Al-Qari berkata “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .Maudhuat Kabir, halaman 59. 6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …Iqtirabussa’ ah, halaman 162. 7. Imam Sya’rani berkata”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42. 8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW khaatamannabiyyin” …..Al- Insanul Kamil halaman 66. 9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. Tafhimati Ilahiyah, halaman 53. 10. Imam Suyuti berkata “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia Isa yang dijanjikan sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426. 11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani berkata “Dan sabda Nabi “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.” Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42. 12. Imam Thahir Al Gujrati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85. 13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau dan bukan ummati beliau Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69. 14. Peristiwa wafatnya Ibrahim putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah tercatat sebagai berikut Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511.Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya. 15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh Mujaddid abad IX menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu. Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf 1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin “Dengannya Rasulullah saw telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”. 2. Abu Ubaidah wafat 209 H ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”. 3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi wafat 339 H dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”. 4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an al ahzab 40, maka artinya “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”. 5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at tentang Khaatam Al Nabiyyin “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memansukhkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”. 6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”. 7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”. 8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani menulis ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. Taqribul Muram, jld 2, hal 233. 9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i pembawa Syariat telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” Fushushul Hakam, hal 140-141. Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 ” Berkata ia Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada Nabi maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”. 10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. Takmilah Majma’il Bihar, hal 85. 11. Siti Aisyah bersabda “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, 12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani Wafat 976H menulis “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i yg membawa syariat yg telah tutup”. Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2, Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian jenis apapun bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa 1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi tersempurna yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw. 2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam. 3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau Beliau saw penutup Kenabian Syar’i. 4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup. 5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya. Juni 16, 2008 - Posted by Hadits dan Quran Belum ada komentar.
. 90 8 122 357 237 199 409 425
arti dari khataman nabiyyin adalah